Jl. Boulevard Timur Raya, Kelapa Gading - Jakarta 14250
T. (+6221) 4521001, 4520201    F. (+6221) 4520578
E. gadingpluit@gadingpluit-hospital.com
IG. gadingpluithospital

Gawat Darurat: (+6221) 4-5858-258

TUBEKTOMI TANPA SAYATAN

TUBEKTOMI TANPA SAYATAN

TUBEKTOMI TANPA SAYATAN

Dengan prosedur sterilisasi transservikal, saluran telur pada organ reproduksi perempuan ditutup tanpa melibatkan pembedahan.

TUBEKTOMI merupakan salah satu prosedur untuk membuat seorang perempuan tidak bisa hamil  kembali secara permanen (sterilisasi). Selama ini, prosedur itu dilakukan dengan operasi untuk mengikat atau memotong saluran telur (tuba falopii) sehingga sel telur tidak dapat bertemu dengan sperma dan pembuahan pun tidak terjadi. Operasi itu umumnya dilakukan dengan pembedahan, yang kerap  dilakukan pasca melahirkan secara Caesar, atau dengan teknik operasi sayatan kecil (laparoskopi). Laparoskopi yang hanya membutuhkan sayatan kecil selebar 0,5-1 cm di perut merupakan kemajuan di bidang operasi. Namun kini, kaum perempuan lebih diuntungkan lagi karena ada alternatif teknik tubektomi yang sama sekali tidak memerlukan sayatan. Teknik itu disebut sterilisasi transservikal. “Prinsipnya, metode ini diklakukan dengan memasang sebuah alat yang bentuknya kecil di saluran telur lewat vagina. Jadi, mirip dengan pemasangan alat kontrasepsi  IUD (spiral),” ujar dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit (RS) GADING PLUIT, Miranty Firmansyah, di sela seminar kedokteran bertajuk 10th Symposium on Minimally  Invasive Surgery, Multidisciplinary Persepective  & Workshop, di RS tersebut, akhir pekan lalu.

Dokter yang juga berpraktik di RS. PLUIT Jakarta itu menjelaskan, alat yang dipasang di saluran telur tersebut berfungsi memicu terbentuknya jaringan baru yang pada akhirnya  menutup saluran telur secara permanen. Alat itu ada yang bentuknya seperti pegas mungil , ada pula yang berupa matriks silikon. Cara memasukkan alat itu dilakukan dengan bantuan kateter khusus yang dimasukan dengan bantuan histeroskop (alat teropong area rahim) lewat vagina menuju rahim lalu ke saluran telur.“Histeroskop dilengkapi kamera video mikro yang terhubung dengan layar monitor. Dengan demikian, dokter bisa melihat kondisi dalam rahim dan sekitarnya serta memasang alat sterilisasi transservikal pada posisi yang benar,” jelas Miranty.

Teknik yang dilakukan tanpa pembedahan itu memberi banyak keuntungan bagi pasien. Tidak ada luka yang ditimbulkan, tindakan itu juga tidak membutuhkan rawat inap. Namun, berbeda dengan tubektomi yang dilakukan dengan mengikat atau memotong saluran telur, metode sterilisasi transservikal itu membutuhkan waktu tiga bulan mulai pemasangan alat sampai terbentuk jaringan yang menutup saluran telur dengan sempurna.” Jadi, selama jeda waktu itu hubungan seks harus dilakukan dengan metode kontrasepsi lainnya untuk sementara. Nantinya, untuk memastikan bahwa jaringan  penyumbat saluran telur itu sudah terbentuk, dilakukan rontgen,” imbuh Miranty.

Metode sterilisasi transservikal itu dapat menjadi alternatif bagi perempuan yang ingin menjalani sterilisasi tapi takut operasi. Miranty mengaku sering mendapati pasien perempuan yang hamil tanpa terencana di usia 40 tahun ke atas, sebuah usia yang tergolong berisiko untuk hamil. Umumnya kehamilan itu terjadi karena mereka lalai dalam mengonsumsi pil KB, lupa jadwal suntik KB, atau lupa sudah saatnya mengganti IUD dengan yang baru. “ Metode sterilisasi yang merupakan kontrasepsi jangka panjang bisa mengatasi kelalaian itu. Tapi sayang, di Indonesia sebagian besar perempuan enggan sterilisasi,” ungkapnya.

TIDAK KALAH

Prosedur sterilisasi transservikal itu merupakan salah satu jenis tindakan endoskopi, yakni tindakan pemeriksaan ataupun operasi yang dilakukan dengan bantuan endoskop (teropong untuk melihat jaringan dalam tubuh), tanpa pembedahan sama sekali. Bersama dengan laparoskopi (operasi dengan sayatan kecil), tindakan endoskopi merupakan bentuk dari teknik operasi modern. Teknik itu meminimalkan syatan, bahkan tidak melibatkan sayatan sehingga memberikan berbagai keuntungan bagi pasien, seperti meminimalkan pendarahan, menekan angka infeksi, mempercepat masa perawatan dan penyembuhan luka pascaoperasi, serta meninggalkan bekas luka yang kecil dan tersamar sehingga sehingga lebih estetis.

Menurut Ketua Perhimpunan Bedah Endo-Laparoskopi Indonesia, Errawan R. Wiradisuria, perkembangan teknik endoskopi dan laparoskopi di Indonesia sejatinya tidak kalah dengan negara – negara lain, utamanya di lingkup Asia. “Ada dokter kita yang dipercayai untuk melatih teknik endo-laparoskopi pada dokter – dokter di luar negeri seperti Jepang, Tiongkok, dan Korsel. Dokter – dokter negara tetangga juga banyak yang belajar endo – laparoskopi pada kita. Jadi, secara kepakaran, kita tidak kalah,” kata Errawan.

”Bahkan tahun ini Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah penyelenggara kongres internasional di bidang Endo – Laparoskopi tingkat Asia (International Congress of Endoscopic and Laparoscopc Surgeons of Asia / ELSA). Acara yang akan  digelar di Bali pada 8-11 Oktober itu akan dihadiri para dokter bedah dari 42 negara. Meski demikian, lanjut Errawan, banyak pasien dalam negri yang masih memilih menjalani tindakan endo – laparoskopi di luar negeri, seperti di Singapura atau Malaysia. Penyebabnya, selain soal kepercayaan pelayanan, juga faktor harga. “Di Malaysia  jatuhnya bisa lebih murah karena di sana alat –alat operasi tidak kena pajak. Di Indonesia, alat – alat operasi justru digolongkan sebagai barang mewah yang pajaknya tinggi. Akibatnya, biaya yang ditanggung pasien juga lebih tinggi. Semoga ke depan ada perbaikan sistem.” Harapnya. (H-1)

------------------

Seperti dimuat di KORAN MEDIA INDONESIA: RABU, 01 OKTOBER 2014.