Sistem imun tubuh manusia merupakan benteng pertahanan tubuh utama guna mengenal, melawan dan menghancurkan segala macam benda asing atau antigen, yang merugikan tubuh baik itu bakteri atau virus termasuk semua jenis patogen yang terpapar ke tubuh. Sistem imun tidak memiliki tempat khusus dalam tubuh manusia dan tidak dikontrol oleh organ pusat, seperti otak.
Kita mengenal dua kelompok di dalam sistem imun tubuh, yang pertama adalah sistem imun bawaan (innate immune system) sering disebut sistem imunitas nonspesifik dan merupakan garis utama tubuh yang pertama dalam melawan semua patogen yang masuk ke tubuh kita, artinya kelompok ini akan menghancurkan semua jenis antigen tanpa terkecuali.
Yang termasuk dalam kelompok pertama ini adalah sel lekosit tipe granulosit yaitu Basophil, Eosinophil, Neutrophil, Mast cell, Natural killer cell. Kelompok yang kedua adalah sistem imun perolehan (adaptive immune system) merupakan mekanisme pertahanan tubuh berupa perlawanan terhadap antigen tertentu sesuai dengan jenisnya, dan sering disebut sistem imunitas spesifik, yang termasuk disini adalah limfosit B dan T.
Sebagai jembatan diantara kedua kelompok di atas adalah sel lekosit tipe agranulosit yang berjumlah sekitar 3-8% dari seluruh lekosit. Sel ini bermigrasi ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi sel Makrofag dan sel Dendritik
Infeksi virus Covid-19 akan berhadapan dengan sistem imun perolehan atau sistem imunitas spesifik di dalam tubuh kita. Sistem imun tubuh memiliki 2 cara untuk merespon terhadap serangan infeksi virus yang diatur oleh gen.
Kelompok gen yang pertama adalah mengatur produksi interferon yang mampu menghambat dan mengontrol akitivitas virus selama 7-10 hari, sedangkan kelompok gen yang kedua berfungsi mengatur produksi sitokin dan kemokin yang memberi sinyal ke sel B dan T untuk mengeradikasi virus yang sudah terkontrol (Sharon Begley, May 21, 2020).
Virus influenza dan SARS virus pada umumnya menyerang kedua kelompok gen sistem imun tubuh tersebut, tetapi yang unik dari virus SARS-Cov-2 atau Covid-19, setelah masuk sel kemudian membajak DNA dan fungsi gen, yaitu memblokir fungsi gen pertama sehingga tidak bisa memproduksi interferon dan terus menstimulasi fungsi gen kedua untuk produksi sitokin, sehingga terjadi badai sitokin.
Virus Covid-19 yang tidak terkontrol oleh interferon akan merusak jaringan paru, sedang badai sitokin akan merusak sistem organ lain di dalam tubuh.
Apa strategi yang bisa dilakukan untuk melakukan pengobatan terhadap infeksi Virus Covid-19. Strategi yang tepat harus bisa memenuhi kriteria: aman dan efektif, target spesifik, dan tidak toksik.
Riset dan alternatif pengembangan pengobatan Covid-19 idealnya ditujukan terhadap biologi virus, yaitu efektif terhadap RNA virus Corona. Beberapa modalitas yang dikembangkan pada saat ini:
- Terapi antibodi menggunakan plasma dari pasien penyintas Covid-19 (Plasma convalescent)
- Obat-obat kimia yang bisa menghambat infeksi virus di dalam sel , yaitu Chloroquin, Tocilizumab, Remdesivir, Oseltamavir, Lopinavir, Camostat, dll.
- Beberapa tipe Vaksin, yaitu DNA- based, Protein-based, Virus-based, mRNA-based vaccines
- Terapi berbasis “nucleic acid” dengan target adalah gene dari virus, yaitu terapi stem sel dan terapi Exosome.
Selanjutnya akan kita ulas apa kelebihan dan keterbatasan dari masing-masing modalitas yang kita miliki di atas. Tujuan utama terapi plasma adalah untuk menetralisasi virus di tingkat ekstraseluler dan intraselular. Antibodi yang diberikan bukan aktif dari pasien tetapi antibodi pasif berasal dari plasma pasien penyintas Covid-19. Di tingkat ekstraseluler antibodi ini akan menempel ke protein spike virus dan mencegah virus untuk melakukan fusi dan masuk kedalam sel melalui reseptor ACE2.

Di tingkat intraseluler interferon yang ada didalam terapi plasma akan menghambat replikasi virus. Salah satu keterbatasan terapi plasma adalah syarat yang mengharuskan kecocokan golongan darah diantara donor dan penerima plasma.
Keterbatasan yang kedua adalah bahwa kadar antibodi didalam plasma harus cukup untuk menetralisasi virus, sedangkan pada saat ini belum bisa dilakukan pengukuran kadar antibodi didalam plasma, sehingga ada kemungkinan pasien kriteria kritis Covid-19 tidak tertolong karena plasma berasal dari penyintas Covid-19 yang lebih ringan dengan kadar antibodi yang tidak cukup.
Tujuan utama terapi vaksin adalah kebalikannya terapi plasma yaitu memicu sistem imun perolehan atau sistem imun spesifik di tubuh kita untuk membentuk secara aktif antibodi yang spesifik terhadap antigen dari vaksin yang disuntikan. Tujuan utama adalah membentuk imunitas secara masal yang spesifik terhadap penyakit tertentu, tetapi tidak spesifik untuk penyakit yang lain.
Belum ada obat pada saat ini yang terbukti bisa membunuh virus, sehingga cara kerja obat-obat kimia antivirus yang ada sebenarnya hanya menghambat sebagian aktivitas virus pada saat fusi mau masuk sel melalui reseptor tertentu atau aktivitas didalam sel pada fase tertentu. Camostat dan Tocilizumab bekerja pada fase fusi virus dengan memblokir reseptor sel, Camostat bekerja pada reseptor TMPRSS2 sedang Tocilizumab pada reseptor IL-6.
Obat-obatan yang bisa menghambat aktivitas virus intraselular adalah Chloroquin yaitu menghambat aktivitas virus pada fase translation, sedang Lopinavir atau Ritonavir menghambat pada fase Proteolysis. Adapun Favipiravir dan Remdesivir hanya bekerja pada fase Translation dan RNA replication, sedang Oseltamivir atau Tamiflu bekerja pada fase Packaging.
Keterbatasan obat-obat kimia ini adalah pada efek samping yang bisa ditimbulkan pada jaringan tubuh kita, misalnya hati, ginjal, dll. Terapi berbasis nucleic acid Exosome akan dibahas khusus pada pembahasan berikutnya. Semoga ulasan singkat ini bisa memberi gambaran bagaimana riset dan upaya pengobatan alternatif yang pada saat ini sedang giat dilakukan untuk mengatasi masalah pandemi Covid-19 di dunia dan di negara kita.
Exsosom, Harapan Pengobatan Terbaru di Masa Depan
Fungsi sistem imun tubuh pada keadaan tubuh sehat adalah menjaga agar perputaran kehidupan sel (cell life cycle) dapat berjalan secara normal. Sel punca tubuh (progenitor/ stem cell) dengan pengaruh faktor pertumbuhan (growth factor), tumbuh menjadi sel dewasa dan selanjutnya mati secara alami dan dieradikasi/fagositosis oleh sel makrofag. Perputaran kehidupan sel yang berimbang antara pertumbuhan dan mati alami ini diatur oleh sistem imun tubuh.
Pada usia lanjut terjadi penurunan sistem imun tubuh (immunosenes- cence) dan terutama akan berpengaruh pada sisi pertumbuhan yaitu sel punca. Akibat yang terjadi pada usia lanjut adalah ketidak seimbangan antara pertumbuhan dan kematian sel, sehingga terjadi penurunan densitas tulang yang disebut osteoporosis, ingatan menurun karena terjadi atrofi bagian kortek otak, kekuatan otot menurun karena terjadi atrofi otot tubuh.
Sebaliknya apabila ketidak seimbangan itu terjadi pada sisi kematian sel secara alami (apoptosis), dimana makrofag tidak bisa menjalankan fungsi fagositosis untuk apoptosis, maka yang terbentuk adalah immortal cell yang menimbulkan penyakit kanker.
Upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga agar sistem imun tubuh tetap berfungsi dengan baik meskipun usia bertambah lanjut adalah tetap melakukan aktivitas baik fisik maupun kognitif, karena dampaknya adalah positif terutama pada sisi pertumbuhan sel. Sebaliknya apabila kita tidak aktif maka dampaknya adalah negatif, karena akan terjadi penurunan fungsi yang lebih cepat, dan hal yang sama juga akan terjadi pada kondisi stres.
Salah satu aktivitas fisik yang bisa dilakukan adalah olah raga dengan gerakan-gerakan alami dan tidak dipaksakan seperti berjalan, berenang atau Tai Chi. Tujuan utamanya adalah bukan untuk prestasi melainkan menjaga agar fungsi sistem imun tubuh tetap berjalan secara optimal.
Bagaimana fungsi sistem imun pada keadaan tubuh yang sakit. Setiap penyakit memiliki proses alamiah timbulnya penyakit (nature of illness) dan tubuh manusia diberi kemampuan proses penyembuhan penyakit secara alamiah (nature of healing). Kuman yang masuk kedalam tubuh akan ditengarai oleh makrofag sebagai antigen, selanjutnya makrofag yang berfungsi sebagai APC (antigen presenting cell) memberi sinyal kepada B lymphocyte untuk memproduksi immunoglobulin dan juga sinyal kepada sel pembunuh (natural killing cell) untuk melawan kuman.
Selain itu sistem imun tubuh juga menghasilkan sel memori (memory cell), sehingga tubuh akan memberi reaksi cepat manakala terjadi infeksi yang sama di kemudian hari. Mengapa infeksi bisa timbul, salah satu penyebabnya adalah karena sebagian dari sistem imun tubuh tidak bekerja atau tidak berfungsi.
Jejaring sel didalam sistem imun tubuh itu dapat bekerja secara bersama-sama dan saling berkomunikasi antar sel melalui empat macam cara yang dikenal pada saat ini.
Cara komunikasi yang pertama adalah kontak langsung antara sel dengan sel, yang dikenal sebagai terapi sel punca. Cara kedua adalah kontak secara tidak langsung antara sel, tetapi melalui produk dari sel yang dikenal sebagai cell free terapi, salah satu contohnya adalah endokrin. Insulin dan hormon merupakan produk dari sel endokrin dan dapat digunakan sebagai cell free terapi untuk berinteraksi dengan sel target.

Cara ketiga adalah mekanisme parakrin, yaitu sel mensekresikan ratusan protein bioaktif keluar sel yang disebut sekretom, dan sekretom ini bekerja sebagai alat komunikasi antar sel di sekeliling serta bisa digunakan juga sebagai terapi tanpa sel.
Cara keempat dan paling mutakhir adalah ditemukannya didalam kelompok sekretom tersebut di atas, vesikel terkecil dengan ukuran 30 –150 nm (nano meter) yang disebut Exosom dan ternyata berfungsi sebagai alat komunikasi jarak jauh, beredar diseluruh cairan tubuh, termasuk saliva, urine , air susu, serta bisa menembus rintangan di jaringan otak (blood brain barrier).
Exosom sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 1983 (Pan dan Johnstone), tetapi baru menjadi titik perhatian dunia ilmiah pada tahun 2015 (Lobb et al, 2015). Exosom sebenarnya adalah kendaraan (vehicle) dengan ukuran nano dan membawa kargo atau muatan yang terbaik karena pembentukannya (biogenesis) terjadi didalam sel melalui endoplasmic retinaculum, apparatus Golgi.
Pada proses pembentukannya Exosom mensortir berbagai protein bioaktif serta RNA (miRNA, mRNA, dll) kedalam kargo, sehingga muatan ini memiliki efek fisiologis yang bervariasi dalam mengatur pertukaran protein dan material genetik antar sel. Exosom merupakan alat komunikasi antar sel di seluruh bagian tubuh dan muatannya akan diambil oleh sel target, digunakan untuk kerja organel di dalam sel, baik dalam kondisi tubuh sehat maupun sakit.
Apa yang sebenarnya terjadi pada infeksi virus SARS-Cov2 atau Covid-19. Virus setelah masuk kedalam sel melalui receptor ACE2, selanjutnya melakukan penyabotan (hacking) pada biogenesis exosom , menstranfer genome virus , mereplikasikan dan masuk ke dalam exosom, sehingga yang dikeluarkan oleh sel adalah exosom dengan muatan infeksi virus dan dapat menularkan ke sel lain. Hal yang sama juga bisa terjadi pada sel kanker, sehingga exosome yang dihasilkan akan membawa muatan sel kanker dan justru dapat menyebarkannya ke seluruh tubuh.

Bagaimana exosom dapat digunakan sebagai harapan pengobatan terbaru di masa depan. Kunci utama untuk tujuan pengobatan ini adalah kandungan muatan yang dibawa harus sehat, berasal dari sel mesenkim yang sehat, dan justru tidak boleh berasal dari sel pasien yang sama dan sudah sakit. Sel mesenkim yang sehat adalah yang berasal dari embrio, sehingga dapat diambil dari embrio yang baru dilahirkan yaitu sel mesenkim dari tali pusat bayi yang telah diseleksi sehat serta berasal dari ibu yang sehat pula.
Muatan exosom yang sehat mengandung berbagai macam protein bioaktif , lipid dan nucleic acid diantaranya mikro RNA (miRNA), messenger RNA (mRNA), long non coding RNA (lncRNA) yang berasal dari sel mesenkim yang sehat. Muatan ini akan diambil oleh sel target dan digunakan untuk memelihara atau memperbaiki organel didalam sel, serta digunakan juga untuk regulasi pertukaran protein dan material genetik.
Bagaimana cara kerja muatan exosom yang sehat dan berguna bagi regulasi organel didalam sel target ini. Kandungan protein bioaktif termasuk growth factor dapat menstimulasi sel punca setempat untuk meregenerasi sel yang rusak. Mekanisme ini telah dibuktikan dengan percobaan binatang tikus yang dilakukan di laboratorium IPB pada tahun 2018 sebanyak 33 tikus dilumpuhkan saraf tulang belakangnya dan diberi pengobatan, seminggu setelah pengobatan tikus mulai menggerakkan kaki belakangnya dan dua minggu sesudahnya tikus dapat lari kembali.
Hal ini juga diperkuat dengan bukti pemeriksaan secara histo patologis. Selanjutnya bukti klinis didapatkan pada beberapa pasien yang lumpuh karena cedera saraf spinal dan stroke, pasien tersebut bisa berjalan kembali setelah diberikan pengobatan exosom secara intra-thecal.
Muatan exosom yang mengandung miRNA, mRNA dan lncRNA ini juga akan diambil oleh sel yang terinfeksi oleh virus Covid19, dan dapat menghentikan aktivitas virus dalam melakukan pemindahan dan replikasi genomenya ke dalam biogenesis exosom di dalam sel dengan cara gene silencing and degrading.
Muatan exosom yang sama juga dapat berfungsi untuk memodulasi dan meregulasi sel imun tubuh guna meredakan badai sitokin yang disebabkan oleh infeksi virus Covid-19. Kunci agar tetap sehat adalah dengan menjaga agar sistem imun tubuh tetap berfungsi dengan baik. Kunci untuk penyembuhan akibat sistem imun tubuh tidak bekerja baik adalah mengembalikan fungsi imun tersebut untuk menjadi normal kembali dan dapat digunakan melawan virus. Kunci sehat pada lanjut usia adalah harus tetap aktif baik fisik maupun kognitif karena akan memberikan dampak positif pada sistem imun tubuh, terutama pada sisi progenitor atau pertumbuhan sel.
Exosom dengan muatan yang sehat dapat berperan pada kedua hal tersebut, yaitu regulasi sistem imun tubuh, baik pada keadaan tubuh sehat maupun sakit.
Harapan yang menjanjikan untuk pengobatan di masa depan adalah:
- Exosom dapat dikembangkan untuk metodologi baru pengobatan dengan kandungan muatan yang sehat dan alami.
- Exosom dapat digunakan untuk tehnologi di masa depan dengan melakukan rekayasa untuk membawa muatan obat2 baru guna mengatasi penyakit yang belum ada pengobatannya, karena selain dapat menembus rintangan di jaringan otak juga dapat menjaga stabilitas muatannyan yaitu half life obat (Stremersch et al, 2016).
Penulis
| Dr. dr. Bambang Darwono, Sp.B, Sp.OT, FICS, FAPOA |
| Dokter Spesialis Bedah Tulang |
Seperti dimuat di PMMC News Edisi Desember 2020- Januari 2021
Publish: 22 Juni 2021

English
Bahasa

